Stres sudah menjadi bagian dari kehidupan kita
masing-masing. Setiap manusia tidak ada yang sempurna dan tidak dapat
luput dari kekurangan atau kesulitan hidup. Berbagai persoalan dalam
hidup dapat membuat seseorang mengalami apa yang disebut dengan stres.
Untuk itu, mari kita kenali dahulu arti kata stres tersebut. Cekidot,,!!!!
Menurut dr. Hans Selye, orang yang menemukan stres, beliau
mendefinisikan stres sebagai reaksi tubuh yang tidak menentu terhadap
apa yang dituntut dari tubuh itu (Sehnert, 1997). Ketika kita mengalami
stres, tubuh atau jiwa kita dapat berespon akibat tekanan dari sumber
stres yang kita alami. Sumber stres tersebut dapat berasal dari
lingkungan, pekerjaan, orang lain, dan sebagainya. Berbagai perubahan
akibat reaksi stres tersebut dapat terjadi pada fisik, emosi, pikiran,
dan tingkah laku kita. Sekarang, tinggal bagaimana cara kita mengenali,
mengatur dan mengatasi stres yang akan kita temui dalam kehidupan
sehari-hari.
Sebagai seorang remaja yang masih rentan terhadap berbagai persoalan
hidup, seringkali ketika menghadapi suatu masalah, hal tersebut menjadi
sebuah tekanan. Mengapa begitu? G. Stanley Hall mengemukakan bahwa
remaja adalah masa pergolakan yang diisi dengan konflik dan mood yang
mudah berganti-ganti (Santrock, 2006). Remaja adalah masa peralihan
dimana mereka masih berusaha mencoba-coba peran baru untuk menemukan
jati diri mereka. Seperti halnya juga dengan menjalin hubungan atau
pacaran. Hubungan romantik pada remaja bertujuan untuk meng-explore
seberapa menarik dirinya, bagaimana mereka harus secara romantis
berinteraksi dengan seseorang, dan bagaimana semuanya itu terlihat pada
peer groupnya (Brown,1999). Dari penjelasan tersebut, pacaran dilihat
sebagai suatu cara untuk mencari tau hal-hal yang berkaitan dengan
dirinya. Masalahnya adalah : bagaimana jika hubungan itu gagal? Sebagai
seorang remaja yang memiliki emosi naik turun atau labil, apa dampak
yang akan terjadi dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi
kegagalan tersebut?
Cinta selalu dapat membangkitkan semangat kita dan seringkali membuat
kita pusing. Kesenangan yang dialami oleh remaja saat masa berpacaran,
dapat berubah ketika mereka sudah dewasa. Ketika dewasa, seseorang sudah
tidak melihat lagi hal-hal yang tampak seperti penampilan fisik
pasangannya. Mereka lebih memikirkan hal-hal yang penting untuk masa
depan kedua belah pihak serta menyelesaikan masalah secara dewasa.
Berbeda dengan orang dewasa, hal yang masih menonjol pada remaja adalah
perasaannya. Jarang sekali remaja yang pertama kali berpacaran
dimotivasi untuk memikirkan masa depan.
Emosi seseorang dimainkan saat menjalani kedekatan dengan seseorang.
Disinilah seorang remaja perlu berhati-hati. Seringkali susah untuk
menyeimbangkan antara emosi dan logika. Di awal remaja menjalani
hubungan romantik, remaja sering hanya mencari kenyamanan dan pergi
keluar bersama-sama dengan kelompok dari jenis kelamin yang berbeda
(Santrock, 2006). Remaja seringkali hanya butuh dicintai dan mencintai
pasangannya, tetapi disatu sisi sebenarnya ada hal yang lebih penting
dari pacaran dan juga membutuhkan pikiran yang dewasa yaitu menerima
pasangan apa adanya dan memikirkan apakah orang yang kita pilih memiliki
prinsip-prinsip hidup yang sesuai dengan kita atau tidak. Itulah yang
dinamakan dengan cinta yang sudah dewasa.
Seorang remaja yang baru pertama kali menjalin hubungan atau pacaran, ia
akan berusaha untuk tampil sebegitu rupanya sehingga dapat menyenangkan
pasangannya. Ia menampilkan sisi baiknya, penampilan terbaiknya, sifat
yang baik dan segala sesuatu dari dirinya yang baik. Mau tidak mau
perasaan dan emosi bermain disini dan hal tersebut menumbuhkan
keterikatan yang lebih mendalam lagi antara keduanya. Disinilah dapat
terjadi masalah. Ketika remaja diperhadapkan kepada situasi lain seperti
pasangannya dekat dengan orang lain, sifat pasangan yang tadinya baik
jadi cuek, dan sebagainya, hal ini dapat membuat orang yang memgalami
itu kecewa. Jika sudah kecewa, emosi yang tadinya baik-baik saja dan
perasaan yang sedang berbunga-bunga dapat berubah seketika. Ia dapat
merasa tidak dihargai, tidak diinginkan lagi, dan dapat berujung kepada
hal-hal yang tidak diinginkan seperti stres lalu bunuh diri. Jika kita
mencoba terlalu keras untuk menjadi seorang pasangan yang sempurna, kita
akan membentuk kecenderungan dasar dan membentuk ketegangan (Girdano,
2005).
Emosi dalam hubungan percintaan bagimanapun juga mudah diserang,
khususnya pada remaja. Pikiran dan perasaan seseorang yang belum dewasa
ketika pacaran menjadi tidak stabil dan seringkali menimbulkan stres
ketika diperhadapkan dengan masalah-masalah yang ada. Stres dalam
hubungan seseorang datang sebagai hasil dari kombinasi kegagalan karena
harapan tidak tercapai dan kegagalan untuk mendapatkan apa yang kita mau
(Girdano, 2005). Jika remaja gagal dalam menjalin hubungan, tidak
jarang mereka frustasi dan marah karena tidak mendapatkan apa yang
mereka inginkan. Mereka tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi karena
masih diliputi perasaan sedih dan ketidakdewasaan dalam berpikir.
Perasaan sedih tersebut dapat berkelanjutan dan membuat seseorang
menjadi frustasi bahkan depresi. Seseorang dapat merasa sedih, murung,
patah hati, kehilangan minat dan kegembiraan, ganguan tidur termasuk
sulit tidur, terbangun di malam hari, ganguan nafsu makan, merasa tak
berguna, merasa bersalah, sukar berkonsentrasi, sukar mengambil
keputusan, pandangan masa depan suram, dan pesimistis. Hal-hal tersebut
mungkin terjadi pada remaja dimana sebagian besar remaja masih dalam
kondisi yang tidak stabil.
Ketika remaja menghadapi situasi baru, dimana ia baru pertama kali gagal
dalam menjalin sebuah hubungan, mereka cenderung akan merasa berat
untuk menjalaninya. Persepsi kita terhadap sebuah hubungan membentuk
model tersendiri yang dapat berdampak pada stres, kesehatan dan
kebahagiaan kita (Girdano, 2005). Persepsi seseorang dengan orang lain
dapat jadi berbeda-beda dan hal itu juga akan menimbulkan kadar stres
yang berbeda pula antara satu orang dengan yang lainnya. Ketika remaja
melihat kegagalan sebagai suatu hal yang buruk, maka yang akan terjadi
adalah ia menanamkan pikiran bahwa ia tidak berguna lagi, pesimis, tidak
ingin hidup lagi, dan sebagainya. Jadi tidak heran ketika kita membaca
judul-judul koran yang mengatakan bahwa remaja bunuh diri karena
diputusin pacar, remaja lompat dari atas gedung karena diputusin pacar,
dan sebagainya. Sebaliknya, jika remaja melihat kegagalan sebagai awal
dari keberhasilan, ia tidak akan merasa putus asa karena kegagalan
tersebut, justru ia akan menjadi lebih baik karena pengalaman-pengalaman
yang sudah ia lewati dan menggunakan kegagalan tersebut sebagai
pelajaran dikemudian hari. Lihatlah perbedaan tersebut.
Perubahan dari situasi yang lama kepada situasi yang baru memang
seringkali membawa dampak tersendiri bagi setiap orang yang
menjalaninya. Seperti yang dikatakan Girdano diatas, stres juga
berdampak pada kesehatan. Ketika remaja stres karena kegagalan dalam
menjalin hubungan, mereka cenderung putus asa dan sedih. Hal ini dapat
mempengaruhi pola makannya. Biasanya, orang yang sedang sedih kehilangan
nafsu makan. Tentu saja ini tidak baik bagi kesehatannya. Jika itu
berlangsung lama dapat membuat seseorang tidak dapat berpikir jernih,
berlarut-larut dalam kesedihan tersebut bahkan terkena penyakit. Ia
tidak dapat berpikir logis dan menjadi cepat emosi. Orang yang mengalami
stres tidak mungkin mengalami kesejahteraan pikiran sebab pikirannya
bercabang antara minat-minat yang layak dan pikiran-pikiran yang merusak
(Gintings, 1999). Oleh karena itu, selama pikiran yang merusak itu
masih berada dalam pikiran kita dan kita berlarut-larut dengan hal
tersebut, seseorang tidak dapat berpikir jernih untuk melihat sesuatu
dari segi positifnya. Ketika remaja mengalami hal ini, ia tidak dapat
berkonsentrasi belajar, mengurung diri di kamar, tidak mau melakukan
apa-apa, menangis, melamun, dan murung.
Cinta tidak berasal dari otak kiri seseorang yang dapat memproduksi
hal-hal yang bersifat logikal atau analitikal, tetapi ia berasal dari
otak kanan dimana perasaan lebih menonjol daripada berpikir
(Girdano,2005). Bayangkan jika remaja terlalu memiliki perasaan yang
mendalam kepada pasangannya dan kehilangan kemampuan untuk berpikir
logis ketika ia diperhadapkan dengan situasi yang berbeda. Apa reaksi
yang akan dikeluarkan? Mungkin akan berujung kepada stres karena ia
tidak mendapatkan apa yang ia mau dan harapannya selama ini tidak
tercapai. Perasaan yang menonjol akan membuat remaja merasakan sakit
hati dan kecemburuan yang tinggi bila harapannya tidak tercapai. Sumber
stres yang paling jelas adalah pertengkara dan hal itu mempnyai
kapasitas untuk menghancurkan hubungan dan menimbulkan tekanan emosi
seperti takut, marah dan sakit hati (Girdano, 2005). Jika seseorang
sudah sampai pada titik pertengkaran, ia dapat berada dalam situasi yang
membuat ia tertekan jika tidak dihadapi dengan benar. Jika itu terjadi
pada remaja, mereka akan merasakan tekanan emosi yang begitu hebat
karena pada saat itu remaja sedang berada dalam emosi yang labil.
Bagaimanapun juga, remaja perlu berhati-hati dalam menentukan dan
memutuskan segala sesuatu.
Setelah mengetahui apa itu stres, sumber stres dan reaksi-reaksi stress,
lalu pertanyaan berikutnya yang muncul adalah : bagaimana cara kita
untuk menghadapi dan mengatasi masalah tersebut sebagai seorang remaja?
Perubahan situasi dari situasi yang menyenangkan ke situasi yang tidak
menyenangkan bagaimanapun juga memang susah untuk dihadapi. Tetapi ada
banyak pilihan dalam kehidupan ini. Apakah kita mau terus terpuruk atau
bangkit dari keterpurukan itu? Jawabannya ada pada diri masing-masing
individu. Mari kita belajar untuk mengenali dahulu reaksi-reaksi stress
dan sumber stres yang kita hadapi. Setelah itu hal selanjutnya yang
harus dilakukan adalah mengatasi atau menanggulangi stres dengan
berbagai cara yang ada dan yang terakhir adalah menerapkannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Berikut ini kita akan melihat hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh
remaja untuk mengurangi stres ketika mengalami kegagalan. Hal pertama
yang harus dilakukan adalah mengubah cara pandang kita terhadap sesuatu.
Satu-satunya masalah yang harus kita hadapi ialah memilih pikiran yang
tepat (Soekrama,2001). Pikiran kitalah yang menentukan akan menjadi
seperti apa kita. Jika kita berpikir kegagalan dari sudut pandang yang
buruk, kita akan berpikir bahwa kegagalan merupakan akhir dari
segalanya. Hal selanjutnya yang akan terjadi adalah kita merasakan
kesedihan yang luar biasa, sakit hati yang tidak bisa kita terima, lalu
kita akan marah, kecewa, nangis dan sebagainya. Pikiran kita membentuk
kita menjadi seseorang yang pesimis dan tidak berdaya. Sebaliknya, jika
kita memandang kegagalan sebagai sesuatu yang positif, kita akan
menenukan diri kita yang bersemangat untuk menatap masa depan. Kegagalan
akan dilihat sebagai suatu pelajaran bila kita berpikir positif. Ketika
menghadapi situasi yang sama di lain waktu, kita akan manjadi lebih
dewasa dalam menyikapi masalah yang ada.
Orang tidak akan menderita karena apa yang terjadi, tapi menderita
karena pendapatnya sendiri tentang apa yang terjadi (Soekrama, 2001).
Hal yang bisa kita lakukan mulai saat ini adalah mengatakan pada diri
sendiri apa yang mau kita lakukan dan meyakininya. Sebagai contoh, kita
dapat mengatakan, “Hari ini saya mau memperkuat pikiran saya. Saya akan
mempelajari sesuatu yang berguna. Saya tidak akan jadi orang yang lemah.
Saya akan belajar memaafkan”. Pikiran dan keyakinan tersebut akan
membawa kita kepada hari-hari yang menyenagkan buat kita. Kita harus
berpikir dan bertindak dengan sukacita, karena dengan begitu kita akan
merasa gembira. Bayangkan jika kita melihat suatu kegagalan sebagai
suatu yang buruk. Pikiran kita akan dipenuhi dengan masalah-masalah,
emosi yang tinggi dan tekanan. Hal tersebut tentu saja akan menggangu
kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Hari-hari kita akan berjalan
berat dan kita akan merasa letih untuk menjalani hari-hari ke dapan.
Hal lain yang dapat kita lakukan untuk menghadapi stres karena kegagalan
adalah menerima kenyataan. Bersedialah menerima apa adanya, sebab
menerima apa yang terjadi adalah langkah pertama untuk mengatasi segala
akibat kemalangan yang menimpa (Soekrama, 2001). Menerima kenyataan
mungkin tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi bagaimanapun
juga kita harus mencoba dan berlatih untuk menerima kenyataan. Mungkin
dalam kasus ini, waktu sangatlah dibutuhkan. Tidak gampang bagi
seseorang untuk melupakan kenangan-kenangan yang sudah dilalui bersama
pasangannya. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak boleh berlarut-larut
karena hal tersebut. Itu hanya akan membawa kita terjun lebih dalam lagi
kepada pikiran-pikiran yang tidak berguna dan membuat kita lemah.
Seiring berjalannya waktu, kita pasti dapat menghadapi kenyataan. Jika
kita mengabaikan dan menolak kenyataan sehingga kita sendiri jadi
senewen, ini tidak akan mengubah kenyataan tersebut (Soekrama, 2001).
Ketika kita menghadapai suatu kegagalan dalam menjalin hubungan dan kita
menjadi marah, hal tersebut tetap tidak akan mengubah kenyataan
tersebut. Pilihannya kembali ke diri masing-masing kita. Apakah kita
akan menerima kenyataan dan berpikir bahwa masih ada jalan yang lebih
baik di depan sana ataukah kita memilih untuk membebani pikiran kita
dengan kegagalan tersebut dan berlarut-larut dalam kesedihan.
Dalam menerima kenyataan, hal yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa
kita tidak boleh mengasihani diri kita sendiri. Seringkali pada remaja
yang mengalami kegagalan, mereka terlalu mengasihani diri sendiri karena
tidak mendapatkan apa yang diinginkannya sehingga berujung pada depresi
bahkan ada yang bunuh diri. Hal tersebut justru akan lebih menambah
beban pada diri sendiri. Berpikir bahwa kita gagal, bahwa kita tidak
sanggup menjalani hari-hari ini tanpa kehadirannya lalu menyesalinya,
menangis dan berkata bahwa kita tidak sanggup menjalani kehidupan ini,
itulah salah satu bentuk mengasihani diri sendiri. Kita tidak boleh
terpengaruh oleh keinginan untuk mengasihani diri sendiri dan ketakutan,
tetapi terus saja belajar (Soekrama, 2001).
Hal berikut yang dapat kita lakukan adalah menarik pelajaran dari
kegagalan yang telah kita perbuat. Cobalah untuk menganalisa hal-hal apa
yang membuat kegagalan itu terjadi dan coba pikirkan apa baik buruknya
dari kegagalan tersebut. Dari kebiasaan tersebut, kita dapat melatih
diri kita untuk selalu melihat bahwa dibalik semua hal yang terjadi,
pasti ada pelajaran yang dapat diambil dan yakinilah itu. Orang
bijaksana tidak pernah meratapi kegagalannya tapi dengan gembira hati
mencari jalan bagaimana bisa memulihkan kembali kerugian yang
dideritanya (Soekrama, 2001). Kita pun juga dapat belajar menjadi orang
bijaksana tersebut. Jangan merisaukan hal-hal yang telah terjadi. Hal
itu hanya akan menghalangi kita untuk terus maju ke depan.
Salah satu cara lain yang dapat dilakukan remaja untuk mengatasi rasa
stres adalah dengan menyibukkan diri. Kesedihan hati dapat disembuhkan
dengan jalan menyibukkan diri (Soekrama, 2001). Walaupun tidak
sepenuhnya kita dapat melupakan masalah dengan kesibukan yang kita
lakukan, tetapi ini adalah salah satu cara agar kita tidak termakan oleh
situasi dan perasaan yang membebani pikiran kita. Kebanyakan orang akan
menjadi sedih apabila sedang berada di waktu santai. Kita cenderung
memikirkan apakah kita bahagia atau tidak. Sebagai seorang remaja,
banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan untuk menyibukkan diri.
Tentu saja harus menyibukkan diri dengan hal-hal yang positif. Kita bisa
memilih untuk aktif dalam organisasi, menyalurkan minat kita seperti
bermain musik, olahraga, menari, melukis, membaca, dan sebagainya.
Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menyibukkan diri. Jika hal itu
kita lakukan, kita dapat mengurangi stres yang kita hadapi.
Hal terakhir yang dapat kita lakukan adalah berdoa sesuai dengan agama
masing-masing. Pentingnya doa secara psikologis adalah agar kita
mendapat ketenangan dan dapat melewati suatu kelepasan dari ketegangan
dan pergumulan (Gintings, 1999). Dengan menjaga tingkat spiritualitas
kita, kita dapat mencari ketenangan ditengah-tengah keributan,
keramaian, serta kesibukan yang ada didunia ini. Ketika berhubungan
dengan Sang Pencipta, kita dapat menyerahkan segala kekhawatiran dan
masalah-masalah kita. Kita akan senantiasa mendapat kekuatan untuk
menghadapi segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Tidak ada
alasan bagi kita untuk tetap stres jika kita sudah berhadapan dengan
Sang Pencipta.
Sebagai seorang remaja, kegagalan harus dilihat sebagai suatu pelajaran.
Ketika sudah dewasa, pengalaman-pengalaman yang telah dialalui dapat
menjadi pengalaman berharga. Kita semakin dibentuk utnuk menjadi dewasa
dengan adanya kegagalan-kegagalan tersebut. Jadi kita tidak perlu takut,
cemas ataupun khawatir akan kegagalan yang dihadapi. Ada banyak cara
untuk mengatasi stres akibat kegagalan dalam menjalin hubungan dengan
seseorang. Sekarang tinggal bagaimana sebagai seorang remaja, kita
memilih cara yang sesuai dan tepat untuk mengatasi stres.